Minggu, 26 April 2015

Pasang-surut Islam di Negeri Tirai Bambu

Oleh: Rahman Darmawan
ISLAM di China mengalami fase pasang surut. Sejak kedatangan Islam di negeri Tirai Bambu itu, selalu tidak sepi dari kontroversi dan banyak fakta-fakta sejarah yang dikaburkan oleh kalangan sekuler yang ingin menegasikan peran Islam yang turut mewarnai kemajuan China modern.
Awal mula Islam masuk ke China
Apa yang ada di benak kita ketika melihat wajah putih kekuningan dengan mata sipit? Biasanya yang terbetik di benak kita adalah: kafir, musyrik, penjajah dan lain-lain. Kanapa? Karena fakta itulah yang mungkin selalu terlihat oleh umat Muslim di Indonesia. Sehingga, orang yang berpandangan sempit membenci warga keturunan China yang tinggal di negeri mereka tanpa alasan dan dalil yang jelas.
Siapa sangka jika ternyata agama Islam telah tersebar di China selama lebih dari 1300 tahun. Menurut laporan legendaris tradisional Muslim China, Islam pertama kali dibawa ke China oleh utusan Khalifah Utsman bin Affan dipimpin oleh Saad bin Abi Waqqas (pada 651 M, kurang lebih delapan belas tahun setelah kematian Nabi Muhammad) setelah menang atas orang Romawi Bizantium dan Persia demi mengajak kaisar untuk memeluk Islam. Kaisar Yung Wei, yang berkuasa pada masa dinasti Tang yang menerima utusan khalifah tersebut, kemudian memerintahkan pembangunan Masjid Memorial di Canton, masjid pertama di negara tersebut, yang masih berdiri hingga sekarang setelah empat belas abad berlalu yang awalnya dimaksudkan untuk mengenang Nabi Muhammad.
Sementara sejarawan sekuler modern cenderung untuk mengatakan bahwa tidak ada bukti bahwa Saad bin Abi Waqqas sendiri pernah datang ke China. Mereka berpendapat hanya diplomat dan pedagang Muslim yang datang ke China pada masa dinasti Tang.
Sedangkan tentara muslim mencapai China pertama kali melalui jalur darat di masa Khalifah Al-Walid dari Bani Umayyah. Al-Hajjaj ibn Yusuf Al-Tsaqafi, gubernur Irak pada waktu itu, mengirim tentara muslim di bawah pimpinan Qutaibah ibn Muslim Al-Bahili ke perbatasan China untuk menjalin hubungan perdagangan dengan china.
Islam mencapai puncak kejayaan
Pada 138 H (755 M) kaisar China meminta pertolongan dari bangsa muslim untuk memadamkan pemberontakan An-Lu-Chan. Khalifah memenuhinya degan mengirim pasukan terdiri dari 4000 orang tentara muslim yang berhasil mengalahkan pemberontakan dan menetap di tanah China. Mereka menikahi wanita China, dan membangun keluarga muslim, sehingga memberikan dukungan demografik yang kuat kepada komunitas muslim pertama di China.
Masa pemerintahan dinasti Ming adalah masa yang menarik dan dapat dikatakan sebagai masa kejayaan Islam di China. Di masa ini, hidup seorang tokoh muslim China yang legendaris yang juga panglima angkatan laut China dan telah melakukan 7 kali pelayaran mengelilingi dunia pula. Dialah Cheng Ho alias Cheng He. Pada masa pemerintahan dinasti Ming ini banyak para pejabat negara dan anggota keluarga keajaan yang beragama Islam.
Sebelum dinasti Ming ada dinasti Yuan. Pada masa pemerintahan dinasti Yuan orang-orang muslim dari Asia Tengah banyak menduduki posisi dan kedudukan penting di pemerintahan, tapi di saat itu juga pemerintahan dinasti Yuan sendiri sedang korup dan mengeksploitasi penduduk Han. Mereka mengenakan pajak yang tinggi, dan ini memicu kemarahan penduduk Han. Pada tahun 1368 kekuasaan dinasti Yuan pun tumbang.
Kemudian, bangsa Han, bersama-sama dengan orang Islam mendirikan dinasti Ming dengan mengangkat Zhu Yuanzhang sebagai kaisar pertama dinasti itu. Zhu Yuanzhang (1328-1398) bukanlah seorang bangsawan. Ia berasal dari kalangan jelata yang miskin. Dia sangat dikagumi sekaligus juga dicerca.
Ia dikagumi karena mampu mengusir penguasa atau penjajah asing dan memulihkan kekuasaan China di bawah naungan bangsa Han. Zhu Yuanzhang juga diakui telah banyak membangun China setelah dilanda peperangan yang panjang. Ia memperbaiki kanal yang terbengkalai dan rusak, menggalakkan sektor pertanian, menghijaukan kembali hutan-hutan yang gundul, melanjutkan pembangunan kembali Tembok Besar (Great Wall). Namun ia juga dicerca karena gaya pemerintahannya yang dijalankan dengan tangan besi, tirani, dan despotik.
Tak pernah diketahui dengan jelas siapa sebenarnya Zhu Yuanzhang. Apakah ia seorang Muslim atau bukan, telah menjadi bahan perdebatan yang hangat antara fakta dan spekulasi. Sementara kalangan meyakini bahwa Zhu Yuanzhang adalah seorang Muslim. Sekurangnya ada enam alasan mengapa Zhu Yuanzhang diyakini sebagai pemeluk Islam.
Alasan pertama, Zhu Yuanzhang dilahirkan di Anhui, tempat di mana banyak orang Islam tinggal. Pada zaman itu, hampir semua penduduk Anhui adalah orang Islam. Jadi kemungkinan Zhu Yuanzhang tidak beragama Islam sangat kecil sekali. Kalaupun benar, pengaruh Islam yang kuat dari lingkungannya akan sangat membekas dan bukan tak mungkin membuatnya beralih keyakinan (seperti proses pada alasan keenam di bawah).
Alasan kedua, diketahui bahwa permaisuri Zhu Yuanzhang, Ratu Ma, adalah seorang Hui (muslim) yang berasal dari daerah yang sama dengannya yaitu Anhui. Ratu Ma adalah istri yang paling disayanginya dan sangat berpengaruh. Saat Ratu Ma meninggal tahun 1382, Zhu Yuanzhang merasa sangat terpukul. Peristiwa inilah yang ditengarai menjadi penyebab mengapa perilakunya menjadi lebih irasional dan tidak dapat diprediksi. Ketika Zhu Yuanzhang meninggal pada tahun 1398, dia dimakamkan di samping makam istrinya ini di Nanjing (Ming Xiaoling Mausoleum), [Jiangsu (Chronicle of the Chinese Emperors, Ann Paludin)].
Seperti kita ketahui, seorang perempuan Muslim dilarang menikah dengan orang kafir dan orang-orang Hui sangat menjaga hal ini dengan ketat. Tidak mungkin keluarga Ratu Ma mau menikahkannya dengan seorang yang bukan Muslim.
Alasan ketiga, ketika Zhu Yuanzhang berhasil merebut Nanjing, yang dijadikannya sebagai ibukota dinasti Ming (sebelum dipindahkan ke Beijing), dia memberikan instruksi untuk membangun sebuah Masjid Raya yang bernama “Jing Jue”, dan di Masjid ini terdapat sebuah pahatan syair yang dibuat untuk dedikasi Masjid tersebut.
Alasan keempat, banyak prajurit dan jenderal yang berjuang bersamanya untuk menggulingkan dinasti Yuan dan mendirikan dinasti Ming yang beragama Islam. Jenderal Chang Yuchun, Hu Dahai, Mu Ying, Lan Yu, Feng Sheng yang menjadi inti kekuatan pasukannya adalah jenderal-jenderal yang beragama Islam. Selain itu, banyak di antara tentara Yuan yang menyerahkan diri adalah orang Muslim yang pindah dan menetap di ibukota Nanjing tersebut, sehingga populasi orang Muslim di Nanjing sejak itu bertambah jumlahnya.
Alasan kelima, orang-orang suku Hui di China meyakini bahwa Zhu Yuanzhang adalah seorang Muslim. Setidaknya ia seorang Muslim dalam kehidupan pribadinya.
Alasan keenam, Zhu Yuanzhang sendiri ketika mudanya adalah pengikut sekte agama “Mingjiao” (Teaching the Light) yang dipengaruhi ajaran Manicheanisme dari Persia. Namun saat ia naik menjadi Kaisar Ming pertama, sekte ini ditumpas habis olehnya. Ia juga menyangkal segala sesuatu yang menyangkut hubungannya dengan sekte ini (China Heritage Newsletter, No.5, March 2006).
Selain itu, sudah menjadi rahasia umum bahwa Pemerintah China sejak zaman Dinasti Chin yang korup hingga masa pemerintahan Partai Komunis yang anti-agama sangat dengki kepada Islam. Mereka tak ingin jika Islam tercatat ikut mewarnai khazanah kejayaan China. Banyak tokoh muslim legendaris dalam sejarah China dikaburkan bukti keislamannya dengan tujuan melenyapkan kontribusi Islam dalam kejayaan China.
Masa Surutnya Islam
Dinasti Manchu-Qing (1644-1911) adalah awal surutnya pengaruh Islam di Tiongkok. Karena dianggap sebagai pembela utama dinasti Ming, maka semua kegiatan agama, pembangunan masjid dan ibadah haji ke Tanah Suci Makkah dilarang.
Politik “devide et impera” digunakan untuk memecah belah umat Islam yang terdiri dari bangsa Han, Tibet dan Mongol. Akibatnya ketiga suku penganut Islam itu saling bermusuhan. Tindakan represif Dinasti Qing itu memicu pemberontakan Muslim “Panthay” yang terjadi di provinsi Yunan dari 1855 M hingga 1873 M. Pemberontakan umat Muslim keturunan Han belakangan diikuti oleh orang-orang Han secara umum.
Masa Setelah Revolusi Nasional China
Republik China berdiri setelah Dinasti Manchu-Qing runtuh oleh Revolusi yang dipimpin Dr. Sun Yat Sen (Sun Zhong Shan). Di dalam San Min Zhu Yi (tiga landasan pokok negara), keberanian pahlawan muslim diakui sebagai sumber inspirasi utama perjuangan kebebasan negara Tiongkok modern. Masa itu pejabat kementerian negara dan petinggi partai Kuo Min Tang banyak dijabat oleh orang Islam.
Menurut catatan pemerintah nasionalis ada 40 masjid dan ratusan madrasah didirikan di Beijing. Dalam konstitusi Republik China pada tahun 1911 disebutkan: Masyarakat Han, Hui (Muslim), Meng (Mongol) dan Tsang (Tibet) berada di bawah pemerintahan Republik China, sedangkan daerah khusus Provinsi Qinhai, Gansu dan Ningxia berada dalam kekuasaan Masyarakat Muslim yakni keluarga Ma dan Masyarakat Uighur.
Kondisi yang kondusif dan stabil tersebut tidak berlangsung lama. Keadaan menjadi buruk ketika terjadi Revolusi Budaya oleh Partai Komunis (Gong Chan Tang) yang merubah negara China menjadi Republik Rakyat China (RRC). Semua hal yang berbau non-material dibatasi, termasuk agama. Tetapi setelah terjadi revolusi sosialis pada tahun 1978, pemerintah RRC mulai memulihkan 3 agama yang dianggap Tradisional Asli (Tao, Budha dan Islam).
Kini Islam kembali berkembang di China. Masjid menjadi pusat aktivitas antaretnis Muslim. Asosiasi Islam Republik Rakyat China (Zhongguo Yisilan Xie Hui) telah berdiri saat ini, disamping banyak pusat kajian Islam dan pesantren berdiri. Sebagian produk makanan di China telah mencantumkan produk halal atas rekomendasi dari Zhongguo Yisilan Xie Hui.
Perjalanan ibadah haji juga telah difasilitasi pemerintah lewat Beijing dan Lanzhou (propinsi gansu). Wilayah yang mayoritas warganya muslim diberikan hak otonomi untuk melaksanakan kebebasan beragama dan menjalankan kebudayaannya sendiri, bahkan untuk sekolah ke Timur Tengah untuk memperdalam Islam.
Kembali Terhambat
Dalam beberapa dekade terakhir, kondisi berubah lagi. Islam di China mengalami banyak hambatan kembali. Terutama dari pemerintah China sendiri. Problem Xinjiang (Turkistan Timur) misalnya, belum juga ada titik terang penyelesaiannya. Penderitaan kaum muslimin di Xinjiang, yang mayoritasnya berasal dari keturunan bangsa Turki dan muslim Uighur, masih terus berlanjut.
Pada tahun 2011 hingga 2013 banyak dari kaum muslimin pada bulan Ramadhan dipaksa untuk berbuka pada siang hari, bahkan banyak pada saat sahur tidak mendapatkan makanan untuk sahur.
Pelarangan demi pelarangan terus diberlakukan atas kaum muslin di Xinjiang, mulai dari pelarangan berpuasa dan memasuki masjid telah diluncurkan walaupun belum secara resmi di tetapkan hingga pada tanggal 10 April 2015 lalu sampai pada puncaknya. Parlemen Xinjiang secara resmi mengeluarkan statemennya yang berisi larangan bagi umat Islam setempat untuk mengumandakan adzan, melakukan shalat, pemakaian hijab, dan bahkan simbol-simbol Islam.
Media pemerintah setempat melaporkan pada Agustus tahun lalu, kota lain di Xinjiang, karamay juga telah melarang orang yang memakai gaya pakaian Islam dan berjenggot lebat untuk menaiki bus umum, bahkan puluhan aparat telah berjaga di tempat pemberentian bus-bus umum.
Peristiwa ini menunjukan akan kebenaran hadis Rasululah SAW tentang periodesasi kaum muslimin. Yaitu dengan urutan sebagai berikut, (1) Zaman kenabian, (2) Zaman khilafah Rasyidah, (3) Zaman Mulkan ‘Adhan (raja-raja kejam), (4) Zaman Mulkan Jabariyah (penguasa diktator), (5) Zaman Khilafah berdasar prinsip-prinsip nubuwah. Para ulama sepakat bahwa kita sekarang ini berada di zaman keempat, yaitu Mulkan Jabariyah (para penguasa diktaktor), sebuah kondisi dimana para pemimpin memaksakan kekuasaan mereka yang tidak lagi dilandaskan pada aturan Islam.
Terbukti sudah akan kebenaran tersebut kaum muslim di China telah dipaksa untuk tidak mengamalkan ajaran ajaran islam. Di tempat-tempat lain pun demikian adanya. Zaman ini merupakan zaman yang paling tegang, karena sekarang tidak ada negara yang berani menampung dan memberi jaminan perlindungan untuk kaum muslimin jika ingin pindah ke negara tersebut.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar