Minggu, 26 April 2015

MENEGASKAN NASAB IDEOLOGIS KITA

Oleh: Herliawan Setiabudi
SEJARAH adalah suatu bidang strategis yang sangat penting untuk dipelajari. Generasi Islam tidak boleh menganggap sepele sejarah mereka. Jika individu-individu muslim enggan mengkaji sejarah pendahulunya, mereka tidak akan mengerti proses perjalanan yang mengantarkan mereka menjadi bagian dari entitas raksasa bernama umat Islam. Sebuah titik balik yang membuat mereka terangkat dari kelemahan dan kehinaan kepada kemuliaan dan kejayaan.
Nasab Ideologis
Islam menyebut komponen pemeluknya sebagai umat (al-ummah). Bukan dengan istilah bangsa (nation) yang sangat menekankan pada aspek premordialisme sebagai unsur pemersatu antar-individu yang tercakup di dalamnya. Islam merupakan sebuah sistem hidup yang bersifat universal, lintas bangsa, klan atau suku. Unsur pemersatu antar-individu dalam tubuh Islam adalah akidah Islam itu sendiri. Bukan bahasa, latar belakang sosial, premordialisme atau kesamaan ras dan nasab pemeluknya. Seperti diungkapkan oleh Sayyid Quthb (Fikih Pergerakan Sayyid Quthb, hal. 38), “Ikatan agama Islam ini bukan ikatan darah dan nasab. Bukan ikatan tanah air dan bangsa. Bukan ikatan kaum dan marga. Bukan ikatan warna kulit dan bahasa. Bukan ikatan ras dan suku. Juga bukan ikatan profesi dan status sosial.”
Allah menyebutkan ayat dalam Al-Quran yang memuat ‘definisi’  kataumat menurut Islam.

إِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاعْبُدُونِ

“Sesungguhnya (agama tauhid; millah para nabi) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu. Dan Aku adalah Rabb-mu, maka ibadahilah Aku.” (Al-Anbiya`: 92)
Sejak Nabi Adam hingga Nabi Muhammad, misi dakwah para nabi selalu satu suara. Mereka sama-sama menyebarkan dakwah tauhid yang mengesakan penghambaan hanya kepada Allah. Maka, mereka disebut sebagai umat yang satu. Jadi, kalau umat Islam hari ini konsisten dengan ajaran Nabi Muhammad sebagai nabi terakhir, nasab ideologis mereka nyambung sampai kepada Nabi Adam. Sementara, orang-orang yang tidak mau memeluk Islam, mereka merupakan generasi yang secara ideologis terputus dari misi tauhid para nabi. Sehingga, mereka tidak layak disebut sebagai bagian dariummah wahidah seperti tercantum pada ayat di atas. Meskipun, secara biologis mereka bisa jadi keturunan seorang dai tersohor, ustadz, kiyai atau bahkan keturunan nabi.
Dalam konteks keumatan, yang diakui oleh Islam adalah nasab ideologis sebagai landasan berbagai bentuk hubungan. Sedangkan, nasab biologis bukan merupakan ikatan hakiki jika tidak dibingkai dengan ikatan nasab ideologis. Ini terbukti dari kisah Nuh alaihissalamyang harus terpisah dari anaknya yang disebut oleh Allah sebagai “tidak termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan)(Hûd: 46)”.
Sejarah peperangan para sahabat Nabi juga merekam kisah-kisah mencengangkan betapa bapak dan anak berhadap-hadapan saling menghunus pedang untuk mempertahankan ideologi masing-masing. Satu pihak membela Islam sementara pihak lainnya membela kesyirikan dan kekufuran. Pada saat seperti itu, nasab biologis betul-betul tidak ada nilainya.
Beban Historis
Sejak dulu hingga kini, musuh-musuh Islam memandang bahwa sejarah umat Islam adalah sasaran penting yang harus mereka bidik. Dengan berbagai cara, mereka berusaha membelokkan alur sejarah sebuah komunitas muslim di suatu negeri—yang kebetulan saja mungkin letaknya jauh dari jazirah Arab sebagai ‘tanah kelahiran’ Islam, seperti Indonesia, misalnya—agar lupa dengan akar sejarah mereka. Sehingga, akan terjadi missing link pada generasi berikutnya. Setelah imperialisme mulai masuk ke dunia Islam, mereka menggeser kebanggaan umat Islam terhadap sejarah Islam yang luhur kepada kebanggaan terhadap sejarah jahiliah yang mereka paksakan. Pada akhirnya, umat Islam tidak mengenal jati dirinya sendiri karena terputus dari sejarah agung mereka.
Prof Dr. Ali Muhammad Ash-Shallabi dalam mukadimah Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah, mengutip Zakariya Bayumi, menulis, “Sejarah Islam modern  dan klasik merupakan panji yang selalu dibidik oleh kekuatan yang memusuhi Islam. Sebab mereka menganggap bahwa sejarah merupakan wadah akidah, pemikiran dan pendidikan dalam membangun identitas kaum muslimin.”
Di Indonesia sendiri, upaya-upaya itu salah satu gejalanya mulai tampak dengan mencoba mengangkat kembali nilai-nilai kuno animisme, dinamisme dan sinkretisme untuk mengikis nilai-nilai Islam. Biasanya, misi itu dikemas dengan istilah-istilah ‘menggali kearifan lokal’, ‘menggali nilai-nilai warisan budaya lokal’ atau sejenisnya. Misi terselubung ini mengarah pada satu titik pencitraan bahwa Islam adalah ‘pendatang baru’ di negeri ini yang tidak berakar dan tidak memiliki andil apapun bagi kemajuan Indonesia.
Seruan itu menggiring manusia Indonesia untuk kembali terjebak dalam masa kelam paganisme. Sekaligus, menyalahi fakta bahwa Islam-lah yang telah memutus mata rantai kejahiliahan mereka kemudian menyepuhnya menjadi insan-insan beradab dan mulia sebagai keturunan ideologis para nabi. Jika proses itu berjalan mulus, maka mereka harus bersiap-siap menanggung beban berat ‘kebanggaan jahiliah’ yang sulit dihapus dari memori sejarah.
Sangat menarik ungkapan yang ditulis oleh K.H. Rahmat Abdullah. Sosok yang dikenal dengan sebutan Syaikhut Tarbiyah bagi komunitasAl-Ikhwan Al-Muslimun Indonesia itu dalam pengantar buku Manhaj Haraki, karya Munir Muhammad Al-Ghadban[1],  menulis, “Misalnya, beban historis orang Mesir harus memikul kebanggaan sebagai bangsa turunan Fir’aun. Orang-orang Irak dengan Nebukad Nezar atau Hamurabbi yang dibangun dengan darah, keringat, dan tulang belulang rakyatnya. Sedangkan di sini, mereka pun memikul beban historis Sriwijaya dan Majapahit yang sama tiraninya. Padahal negeri-negeri itu jelas diselamatkan, dibangkitkan dan diperjuangkan oleh Islam dan kaum muslimin. Sayangnya, peranan Islam mereka kesampingkan, sementara generasi mudanya dicekoki dengan sejarah tirani yang tumbang itu.”
Urgensi Studi Sejarah
Melihat kenyataan ini maka perlu adanya upaya pencegahan atas upaya-upaya tersebut agar peran Islam dalam sejarah Indonesia dapat dipahami secara semestinya. Sayangnya, masih belum banyak muncul sejarawan muslim yang berkomitmen untuk membela agamanya dan dengan berani menampilkan historiografi Islam Indonesia sesuai dengan fakta-fakta sejarah yang tidak terdistorsi. Melalui sejarah yang lurus itu, umat Islam Indonesia mampu menjelaskan identitas keislaman mereka secara utuh kepada dunia luar.
Peter Carey, sejarawan Inggris yang selama kurang lebih 30 tahun meneliti tentang kehidupan Diponegoro, dalam prakata Takdir; Riwayat Pangeran Diponegoro, 1785-1855, mencatat, “Semoga biografi ringkas ini dapat mengilhami generasi muda Indonesia untuk memberi penghargaan yang lebih besar kepada sejarah mereka sendiri, serta agar mereka berani menjalani karier sebagai sejarawan  profesional. Saya berharap mereka tergugah oleh perkiraan mutakhir yang menyebutkan bahwa 90 persen karya tulis ilmiah tentang Indonesia justru disusun oleh mereka yang tinggal di luar Indonesia, yang sebagian besar tentunya adalah orang asing. Jika angka ini benar, maka Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang paling kurang efektif menjelaskan dirinya sendiri pada dunia luar.”
Apa yang ditulis Carey itu semestinya menjadi cambuk bagi manusia Indonesia untuk mempelajari sejarah mereka dan menuliskannya sendiri. Kalau ditarik dalam konteks keislaman, karena mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim, maka kaum muslim Indonesia harus mempelajari sejarah mereka dari perspektif keumatan bahwa mereka merupakan bagian integral dari dunia Islam. Bukan dari sudut pandang kenegaraan sekular yang sempit yang terpagari oleh batas-batas geografis semu bentukan faham kebangsaan (nationalism) yang pada gilirannya akan kembali melahirkan beban-beban historis kejahiliahan dan bergerak menjauh dari garis keturunan ideologis para nabi.*
Sumber Bacaan
Ahmad Hasan (penyadur). 2007. Fikih Pergerakan Sayyid Quthb (Aku Wariskan untuk Kalian!). Yogyakarta: USWAH.
Ali Muhammad Ash-Shallabi. 2011. Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Munir Muhammad Al-Ghadban. 2009. Manhaj Haraki. Jakarta: Rabbani Press.
Peter Carey. 2014. Takdir: Riwayat Hidup Pangeran Diponegoro, 1785-1855. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
[1]Yang diterbitkan oleh Rabbani Press, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar