Minggu, 26 April 2015

Di Balik Fenomena “Color Run”

Oleh: Ahmad Hasan*
Pernahkah kita mendengar istilah “Color Run”?
Atau bahkan kita sudah pernah ikut dalam ajang ini?
Bagi para pemuda tentunya hal ini bukanlah hal yang aneh dan asing, karena memang ini adalah sebuah acara yang sedang booming saat ini di Indonesia. Sejarah color run sebenarnya adalah meniru kebudayaan bangsa India yang lalu dimodifikasi dan pertama kali diselenggarakan pada Januari 2012 di Tempe, Arizona, Amerika Serikat. Dan di Singapura untuk pertama kalinya acara Color Run diadakan di Asia.
Color Run adalah sebuah kegiatan berlari sejauh 5K (lima kilometer) dengan ditaburi bubuk warna yang akan menyambut peserta setiap melewati satu kilometernya. Lalu di sesi closing party para peserta akan diberikan sebuah bubuk warna-warni yang akan dilemparkan bersamaan dengan joget diiringi musik lengkap dengan DJ (Disc Jockey).
Color Run dari pertama kali muncul di Amerika tahun 2012 mengalami lonjakan peserta yang sangat signifikan. Dibuktikan pada tahun 2013 peserta mencapai satu juta manusia di seluruh belahan dunia. Merupakan jumlah yang sangat besar melihat acara ini adalah acara lari non-profesional yang berbayar.
Color Run telah menjadi sebuah budaya untuk pemuda-pemudi masa kini, dan budaya ini hanya populer di masyarakat modern. Atau sering masyarakat menyebutnya sebagai Pop Culture. Budaya yang senantiasa lahir di tengah-tengah kehidupan manusia yang sangat konsumtif. Hal ini tentunya bukan tanpa sebab, dengan mudahnya budaya ini dibuat dan disebarkan dengan sangat cepat tanpa melihat batas wilayah, ras, dan agama.
Sebagai manusia yang sangat konsumtif hal ini menjadi sasaran empuk oleh para kapitalis dalam membuat sebuah proyek massal dengan menyasar masyarakat yang haus akan trend masa kini yang menjadi sebuah barang lumrah. Jika kita lebih kritis, hal ini adalah sebuah proyek besar yang hanya akan menguntungkan para elit penguasa, dalam hal ini adalah para penyelenggara. Bukan hal yang susah bagi para elit kapitalis untuk menciptakan ketergantungan barang produksi dan budaya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa mayoritas masyarakat bangsa kita merupakan masyarakat yang konsumtif. Salah satu bukti mutlaknya adalah mewabahnya budaya baru Color Run ini.
Media sosial menjadi faktor pendukung utama mewabahnya budaya ini. Dengan berlari-lari kecil bahkan jauh dari makna olahraga sekalipun, berfoto bersama, dan lalu mengabadikannya di media sosial. Hal ini menimbulkan efek domino terhadap masyarakat penikmat yang konsumtif serupa. Mereka akan sering membicarakannya dan cenderung berusaha mengikuti acara ini. Karena ini adalah sebuah budaya tren maka hal ini pastinya akan menjadi pemicu munculnya usaha dalam rangka meningkatkan eksistensi dalam bergaul atau strata sosial. Masyarakat konsumtif akan sangat menyukai tren yang sedang booming agar mereka dipandang mengikuti mode atau tidak kampungan. Hal ini menjadi ketergantungan dalam masyarakat konsumtif.
Mungkin jika budaya ini muncul dahulu kala, beberapa dekade ke belakang, yang mana masyarakat kita masih menjunjung tinggi nilai-nilai budaya dan identitas bangsa, konsep acara hura-hura seperti ini akan susah untuk menembus budaya bangsa kita. Namun sekarang budaya kita telah kalah dengan budaya asing. Persis perkataan seorang ulama sekaligus sosiolog Islam, Ibnu Khaldun, yang mengatakan hal ini merupakan suatu keniscayaan dimana peradaban yang sedang menang, jaya, dan maju, akan selalu menjadi panutan bagi peradaban-peradaban lain yang kalah.
Kita paham bahwa era sekarang dunia sedang memandang bangsa Barat adalah peradaban yang paling maju. Maka, kita sebagai bangsa berkembang yang dalam fase di bawah bangsa Barat akan selalu cenderung berusaha untuk mengikutinya tanpa melihat bahwa budaya itu sesuai atau tidak dalam budaya asli bangsa kita.
Identitas bangsa semakin runtuh, melihat budaya atau tren populer yang hadir dan diadaptasi dengan sempurna bukanlah budaya hasil keinginan masyarakat sendiri, melainkan oleh para elit penguasa, konspirator kapitalis dan media, diharapkan kita sebagai generasi muda bangsa mampu memfilter budaya asing. Walaupun hal ini bukanlah hal baru dalam masyarakat, namun masyarakat terbukti cenderung susah untuk membentengi diri. Dengan bersikap kritis diharapkan masyarakat mampu menciptakan budaya sendiri yang sesuai dengan identitas bangsa Indonesia.*
*Ketua Mahasiswa Pecinta Islam Surakarta, periode 2015-2016.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar