Pemberdayaan masyarakat yang pernah saya terjun di dalamnya adalah
mengajar anak-anak TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an) yang berada di wilayah
sekitar kampus UNS, mengajar Taman Pendidikan Al Qur’an (TPA), dimana
peserta didik adalah anak-anak usia dini yang sebenarnya tidaklah sulit, justru
banyak tantangan di dalamnya. Namun, juga tidak semudah yang dibayangkan ketika
harus mondar-mandir membujuk santri yang hiperaktif di dunia fantasi mereka. Terkadang
ada orang yang kehabisan ide saat ingin mengajar, atau terkesan monoton,
sehingga anak-anak menjadi bosan, bahkan ada yang kabur dan menjadi tidak
nurut.
Mengajar TPA. Diantara kita semua pasti ada yang sudah pernah
berpengalaman mengajar TPA, kecuali yang belum pernah mengajar tentu
saja..hehee. Pengalaman menjadi seorang pengajar, ada suka, ada duka, ada-ada
saja pokoknya hal–hal yang menjadi momen berharga dan tak terlupakan ketika
kita berkecimpung di sana.
Sebagai Ustadz muda, hehe, saya dituntut untuk bisa memahami dan
mendidik santri ‘dadakan’ (mengajar di sela-sela kesibukkan kuliah) ini dengan
berbagai sifat dan kemampuan anak tersebut. Ada santri yang cerdas, mudah di
arahkan, hiper aktif, pasif, agresif. Hal itu membuat ku terkadang menjadi
stres dan tak terkendali.
Serumit inikah menjadi tenaga pengajar? Jawabnya tentu saja iya. Saat
menghadapi anak yang cerdas, penurut dan mudah mencerna apa yang disampaikan,
hal itu akan menjadi kebanggaan tersendiri dan tentu pula saya tidak perlu repot-repot
mengulang apa yang di sampaikan. Namun, saat sangat merepotkan dan terkadang
makan hati. tapi, itulah suka dukanya mengajar anak-anak TPA.
Saya mulai menikmatinya dan banyak belajar dari mereka. bahwa,
kehidupan anak-anak itu adalah bermain. Kehendak mereka tidak bisa dipaksakan.
Karena mereka belum bisa memahami apa yang dialami dan diingini oleh orang
dewasa. Oleh sebab itu, saya mencoba memasuki dunia mereka untuk bisa bersatu
dengan mereka serta bisa memahami apa yang mereka inginkan sehingga apa yang
akan dan telah kita sampaikan, bisa dicernanya dengan baik dan mudah.
Saya memiliki santri yang bisa dibilang dia tidak memiliki tanggung
jawab terhadap kewajibannya sebagai murid di sekolahnya. Misalnya, saat diminta
untuk menulis pekerjaan rumahnya maka ia menawarnya. (tolong kerjakan hal 1
dari no 1 sampai no 5. Lalu ia menawarnya dengan berkata “nulisnya sampai 3 aja
ya, mas Ustadz?”). Fyuuuh... dasar anak-anak, memangnya dia pikir
Ustadnya ini pedagang apa di tawar-tawar? Hihi.
Lalu terkadang saya memakluminya, tapi saya juga lebih sering
memberikan pengertian kepadanya bahwa tugas itu adalah kewajibannya yang tidak
boleh diabaikan atau ditawar-tawar. Tugas itu, nantinya akan membantu menambah
nilai kalian dan akan membuat kalian makin pintar. Selain itu, paling mudah
mengiming-iminginya dengan ganjaran pahala, dan kalau dia berhasil mengerjakan
tugasnya itu gelar anak sholeh akan tersemat padanya, “jangan lupa ya dik, Anak
rajin disayang Allaah.. (sambil senyum simpul merekah)”.
Ada lagi ini kisahnya si Alan, santri kesayangan Ustadz/ustadzahnya
karena kepolosannya, kepolosannya bukan main karena ada unsur takwa didalamnya.
Sekali diberi nasihat baik, langsung dilaksanakannya. Tapi, yang subhanallah-nya
lagi, dia paling takut sama yang namanya neraka. Pernah suatu ketika si Alan
bertengkar dengan santri lain yang merupakan biangnya membuat keonaran sebut
saja Dimas, itu sedang pelajaran membuat keterampilan tangan dengan lilin,
singkat cerita mereka berdua berjibaku dan saling merebut lilin yang sudah
mulai habis untuk dibuat melengkapi hasil karya mereka yang 80% jadi itu.
Akibat ketidakwaspadaan kami, Dimas memukul dengan keras bahu Alan yang
mengakibatkan ia menangisi apa yang dilakukan sahabatnya itu. Padahal tidak
sengaja ia melontarkan pukulan itu sebab tidak sabaran, terjadilah begitu saja.
Saya berusaha membuat Alan diam dari tangisnya yang menyeruak dan menggemakan
seisi ruang masjid yang tak begitu besar itu. Saya membisikinya ia dengan
lembut, “Alan, kamu tahu apa itu neraka dan apa itu surga?’’, dengan mengisak
keras iya menjawab. “Tau Ustadz”, lalu saya menyambar lagi dengan
menanyakannya, “Kamu tahu kan penghuni-penghuninya?’’, dia menjawab lagi, tidak
tahu Ustadz. “InsyaAllah Alan adalah penghuni surga, tapi Alan juga bisa jadi
penghuni neraka di waktu yang sama.”, mendengar kalimat terakhir itu, Alan
justru makin terisak merdu dan keras tangisannya.
Tanpa mengambil jeda waktu lebih lama, kulanjutkan berkata, “Alan anak
yang baik, mampu bersabar, dan tidak menangis lagi setelah dizalimi sahabatnya
dengan tidak disengaja, tapi Alan akan dimarahi Allah kalau Alan menjadi
pendendam, yaitu Alan membalas perbuatan Dimas tadi dengan keburukan bahkan
lebih kejam, pasti Allah juga lebih marah sama Alan, Jadi, mau kan berbaikkan
dengan Dimas, meskipun Alan tidak salah..”, tangisannya pun agak mereda seiring
perkataanku dicerna olehnya. Begitulah Alan, dia memang berbeda, hatinya mampu
menerima hidayah lebih mudah daripada santri yang lainnya. Keesokkan harinya
saya katakan padanya, “Alan, besok hari senin lho yuk kita puasa sama-sama,
puasa senin kamis bisa bikin mama Alan awet muda lho, bebas penyakit, sekaligus
bisa bikin mama dan Alan masuk surga sama-sama, kamu mau kan?”, dengan mata
berbinar ia menjawab, “Mau Ustad!”, seketika itu ia pulang dan terdengar olehku
teriakkan khasnya berkata, “Assalamu’alaykum, Alan pulang.. mama besok mama
harus puas senin kamis ya, supaya awet muda dan Alan bisa masuk surga!”,
kemudian saya tersenyum sambil berpikir, siapa yang tidak tergugah hatinya
mendengar jawaban anak kelas 5 SD yang berkata seperti itu dengan polosnya. Masya
Allah..
Dimas, tokoh lain dalam cerita
ini adalah anak tetangga non muslim yang juga ikut dalam kegiatan belajar
mengajar di TPA kami, dia sudah bisa mengaji dan sebenarnya berkali-kali kami
ajari untuk bersyahadat. Akan tetapi ayahnya yang merupakan seorang krsiten
protestan menikahi ibunya yang merupakan seorang muslim, semoga saja hidayah
Allah bersamanya ketika besar nanti dan ia menjadi Agen Muslim yang taat,
bermanfaat bagi Diin yang mulia ini. Selain itu, memang sebagian besar
masyarakat yang tinggal di sekitaran masjid tempat kami mengajar adalah 75% non
muslim, padahal dulunya adalah kampung dengan penduduk muslim, karena sudah
menjadi target kristenisasi tanpa pengawasan kami di tahun-tahun sebelumnya,
semoga ini menjadi semangat kami agar terus mengabdi kepada masyarakat, kepada
agama ini melalui mereka, dan semoga Allah melindungi anak-anak ajaib ini.
Aamiin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar