Rabu, 11 Desember 2013

Pemberdayaan Masyarakat, Aku Belajar dan Aku Sabar | Suka Duka

Pemberdayaan masyarakat yang pernah saya terjun di dalamnya adalah mengajar anak-anak TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an) yang berada di wilayah sekitar kampus UNS, mengajar Taman Pendidikan Al Qur’an (TPA), dimana peserta didik adalah anak-anak usia dini yang sebenarnya tidaklah sulit, justru banyak tantangan di dalamnya. Namun, juga tidak semudah yang dibayangkan ketika harus mondar-mandir membujuk santri yang hiperaktif di dunia fantasi mereka. Terkadang ada orang yang kehabisan ide saat ingin mengajar, atau terkesan monoton, sehingga anak-anak menjadi bosan, bahkan ada yang kabur dan menjadi tidak nurut.
Mengajar TPA. Diantara kita semua pasti ada yang sudah pernah berpengalaman mengajar TPA, kecuali yang belum pernah mengajar tentu saja..hehee. Pengalaman menjadi seorang pengajar, ada suka, ada duka, ada-ada saja pokoknya hal–hal yang menjadi momen berharga dan tak terlupakan ketika kita berkecimpung di sana.
Sebagai Ustadz muda, hehe, saya dituntut untuk bisa memahami dan mendidik santri ‘dadakan’ (mengajar di sela-sela kesibukkan kuliah) ini dengan berbagai sifat dan kemampuan anak tersebut. Ada santri yang cerdas, mudah di arahkan, hiper aktif, pasif, agresif. Hal itu membuat ku terkadang menjadi stres dan tak terkendali.
Serumit inikah menjadi tenaga pengajar? Jawabnya tentu saja iya. Saat menghadapi anak yang cerdas, penurut dan mudah mencerna apa yang disampaikan, hal itu akan menjadi kebanggaan tersendiri dan tentu pula saya tidak perlu repot-repot mengulang apa yang di sampaikan. Namun, saat sangat merepotkan dan terkadang makan hati. tapi, itulah suka dukanya mengajar anak-anak TPA.
Saya mulai menikmatinya dan banyak belajar dari mereka. bahwa, kehidupan anak-anak itu adalah bermain. Kehendak mereka tidak bisa dipaksakan. Karena mereka belum bisa memahami apa yang dialami dan diingini oleh orang dewasa. Oleh sebab itu, saya mencoba memasuki dunia mereka untuk bisa bersatu dengan mereka serta bisa memahami apa yang mereka inginkan sehingga apa yang akan dan telah kita sampaikan, bisa dicernanya dengan baik dan mudah.
Saya memiliki santri yang bisa dibilang dia tidak memiliki tanggung jawab terhadap kewajibannya sebagai murid di sekolahnya. Misalnya, saat diminta untuk menulis pekerjaan rumahnya maka ia menawarnya. (tolong kerjakan hal 1 dari no 1 sampai no 5. Lalu ia menawarnya dengan berkata “nulisnya sampai 3 aja ya,  mas Ustadz?”). Fyuuuh... dasar anak-anak, memangnya dia pikir Ustadnya ini pedagang apa di tawar-tawar? Hihi.
Lalu terkadang saya memakluminya, tapi saya juga lebih sering memberikan pengertian kepadanya bahwa tugas itu adalah kewajibannya yang tidak boleh diabaikan atau ditawar-tawar. Tugas itu, nantinya akan membantu menambah nilai kalian dan akan membuat kalian makin pintar. Selain itu, paling mudah mengiming-iminginya dengan ganjaran pahala, dan kalau dia berhasil mengerjakan tugasnya itu gelar anak sholeh akan tersemat padanya, “jangan lupa ya dik, Anak rajin disayang Allaah.. (sambil senyum simpul merekah)”.
Ada lagi ini kisahnya si Alan, santri kesayangan Ustadz/ustadzahnya karena kepolosannya, kepolosannya bukan main karena ada unsur takwa didalamnya. Sekali diberi nasihat baik, langsung dilaksanakannya. Tapi, yang subhanallah-nya lagi, dia paling takut sama yang namanya neraka. Pernah suatu ketika si Alan bertengkar dengan santri lain yang merupakan biangnya membuat keonaran sebut saja Dimas, itu sedang pelajaran membuat keterampilan tangan dengan lilin, singkat cerita mereka berdua berjibaku dan saling merebut lilin yang sudah mulai habis untuk dibuat melengkapi hasil karya mereka yang 80% jadi itu. Akibat ketidakwaspadaan kami, Dimas memukul dengan keras bahu Alan yang mengakibatkan ia menangisi apa yang dilakukan sahabatnya itu. Padahal tidak sengaja ia melontarkan pukulan itu sebab tidak sabaran, terjadilah begitu saja. Saya berusaha membuat Alan diam dari tangisnya yang menyeruak dan menggemakan seisi ruang masjid yang tak begitu besar itu. Saya membisikinya ia dengan lembut, “Alan, kamu tahu apa itu neraka dan apa itu surga?’’, dengan mengisak keras iya menjawab. “Tau Ustadz”, lalu saya menyambar lagi dengan menanyakannya, “Kamu tahu kan penghuni-penghuninya?’’, dia menjawab lagi, tidak tahu Ustadz. “InsyaAllah Alan adalah penghuni surga, tapi Alan juga bisa jadi penghuni neraka di waktu yang sama.”, mendengar kalimat terakhir itu, Alan justru makin terisak merdu dan keras tangisannya.
Tanpa mengambil jeda waktu lebih lama, kulanjutkan berkata, “Alan anak yang baik, mampu bersabar, dan tidak menangis lagi setelah dizalimi sahabatnya dengan tidak disengaja, tapi Alan akan dimarahi Allah kalau Alan menjadi pendendam, yaitu Alan membalas perbuatan Dimas tadi dengan keburukan bahkan lebih kejam, pasti Allah juga lebih marah sama Alan, Jadi, mau kan berbaikkan dengan Dimas, meskipun Alan tidak salah..”, tangisannya pun agak mereda seiring perkataanku dicerna olehnya. Begitulah Alan, dia memang berbeda, hatinya mampu menerima hidayah lebih mudah daripada santri yang lainnya. Keesokkan harinya saya katakan padanya, “Alan, besok hari senin lho yuk kita puasa sama-sama, puasa senin kamis bisa bikin mama Alan awet muda lho, bebas penyakit, sekaligus bisa bikin mama dan Alan masuk surga sama-sama, kamu mau kan?”, dengan mata berbinar ia menjawab, “Mau Ustad!”, seketika itu ia pulang dan terdengar olehku teriakkan khasnya berkata, “Assalamu’alaykum, Alan pulang.. mama besok mama harus puas senin kamis ya, supaya awet muda dan Alan bisa masuk surga!”, kemudian saya tersenyum sambil berpikir, siapa yang tidak tergugah hatinya mendengar jawaban anak kelas 5 SD yang berkata seperti itu dengan polosnya. Masya Allah.. 

 Dimas, tokoh lain dalam cerita ini adalah anak tetangga non muslim yang juga ikut dalam kegiatan belajar mengajar di TPA kami, dia sudah bisa mengaji dan sebenarnya berkali-kali kami ajari untuk bersyahadat. Akan tetapi ayahnya yang merupakan seorang krsiten protestan menikahi ibunya yang merupakan seorang muslim, semoga saja hidayah Allah bersamanya ketika besar nanti dan ia menjadi Agen Muslim yang taat, bermanfaat bagi Diin yang mulia ini. Selain itu, memang sebagian besar masyarakat yang tinggal di sekitaran masjid tempat kami mengajar adalah 75% non muslim, padahal dulunya adalah kampung dengan penduduk muslim, karena sudah menjadi target kristenisasi tanpa pengawasan kami di tahun-tahun sebelumnya, semoga ini menjadi semangat kami agar terus mengabdi kepada masyarakat, kepada agama ini melalui mereka, dan semoga Allah melindungi anak-anak ajaib ini. Aamiin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar